
Sejarah Apostrof
Apostrof (‘) merupakan tanda baca dalam bahasa Indonesia yang diartikan sebagai penyingkat. Kita sering membaca sebuah kata dengan apostrof, seperti ‘kan, ‘ku, dan t’lah. Namun, ternyata pada awal kemunculannya, apostrof tidak hanya berperan sebagai penyingkat.
Oxford English Dictionary mencatat bahwa apostrof berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘peniadaan bunyi dalam ucapan’. Ada anggapan bahwa apostrof pertama kali digunakan oleh Pietro Bembo—seorang sarjana, penyair, dan teoretikus sastra asal Italia—dalam buku De Aetna (1496). Kemudian, dalam praktik bahasa Prancis, tanda apostrof dipopulerkan oleh Geoffroy Tory pada 1529. Barulah setelah itu, apostrof mulai merebak di Britania Raya pada awal abad ke-16 melalui buku The Cosmographical Glasse (1559) karya William Cunningham.
Beralih ke Tanah Air, orang Belanda pun menggunakan apostrof ketika menulis dalam bahasa Melayu. Penulisan apostrof pada saat itu berfungsi sebagai tanda trema, yakni titik dua horizontal (¨) di atas huruf vokal sebagai penanda suku kata yang terpisah. Misalnya, taät. Lebih lanjut, Ophuijsen menjelaskan bahwa apostrof dalam aksara Latin merupakan spiritus lenis atau embusan lembut yang menandakan ketiadaan bunyi glotal bersuara /h/ pada awal kata. Hal ini berbeda dengan bahasa Arab yang menggunakan bunyi hamzah pada awal dan akhir kata sebagai spiritus lenis.
Ophuijsen lantas berkeinginan untuk menyederhanakan bunyi hamzah pada aksara Arab-Melayu—h dan q—dengan menggunakan apostrof. Kemudian, berdasarkan Ejaan Soewandi (1947), bunyi hamzah atau yang serupa dengannya ditulis dengan huruf k pada akhir suku kata, seperti makna. Barulah dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan edisi pertama (1972), tanda apostrof diatur sebagai penyingkat. Aturan ini diperkuat dengan terbitnya Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (2015).
Bahasa Indonesia hari ini hanya mengenal apostrof sebagai penyingkat kata dan tahun. Contohnya sebagai berikut.
- Aku ‘kan s’lalu berjuang.
- Tahun ‘80-an.
- Iya, ‘kan?
Pada contoh pertama, ‘kan adalah akan dan s’lalu berarti selalu. Contoh kedua memanfaatkan apostrof untuk menghilangkan penunjuk 19. Sementara itu, pada contoh ketiga, ‘kan mengartikan bukan.
Rujukan:
- Hidayat, Asep Rahmat. 2020. “Apostrof”. Dalam Majalah Tempo, Maret, Jakarta.
- Odile Piton, Hélène Pignot. 2010. “‘Mind your p’s and q’s?’: or the peregrinations of an apostrophe in 17th Century English”. NooJ 2009 International Conference and Workshop, Abdelmajid Ben Hmadou, Slim Mesfar, Max Silberztein, Juni 2009, Tozeur, Tunisia.
Penulis : Yudhistira
Penyunting : Harrits Rizqi
Daftar Tag:
Artikel Terkait
Artikel & Berita Terbaru
- Dua Pekan Lagi Bulan Bahasa dan Sastra
- Griyaan Penulisan Wara Narabahasa untuk Kemenkeu
- Tabah ke-143 bersama Arianti, Harapan II Duta Bahasa 2023
- Bagaimana Anak Memperoleh Keterampilan Berbahasa?
- KDP Hadir Kembali: Kerinduan yang Sedikit Terobati
- Kreasi Konten Media Sosial Finalis Dubasnas 2024
- Menelisik Peran Nama pada Tempat melalui Kajian Toponimi
- Nilai Religius Ungkapan Kematian
- Ngapain?
- Nasib Jurnalisme Investigasi dalam RUU Penyiaran
- Aman Aja
- WIKOM BPOM 2024 bersama Narabahasa